Selamat Datang di Dunia Keperawatan

Jumat, 06 Juli 2012

Mewariskan Kepemimpinan

by: dasuki
Sebagai manusia dimanapun dia berada pasti tidak terlepas dari menjadi seorang pemimpin, apakah memimpin diri sendiri, keluarga, masyarakat, tempat kerja dll. Dalam menjadi pemimpin tidak terlepas dari berbagai persoalan yang dihadapi, baik dari individu, sistem atau kebijakan2 internal atau eksternal. Menjadi pemimpin bukanlah sesuatu yang abadi, karena setiap sat bisa saja di lengserkan atau memang habis masa jabatannya. 
Jadi, pernahkah kita memikirkan kenangan apa yang ingin kita wriskan kepada orang disekitar kita?? apa yang dikatakan orang setelah kita tidak berada disekitar mereka?? satu hal yang pasti adalah yang akan diingat dari orang lain tentang dari diri kita bukanlah prestasi yang dicapai untuk diri sendiri, melainkan apa yang sudah kita lakukan membantu orang lain untuk berkembang. Bukan seberapa besar dan tinggi rumah yang kita bangun, melainkan seberapa banyak orang yang merasakan kehangatan suasana di rumah kita. Bukan seberapa besar organisasi yang kita kembangkan, tetapi seberapa banyak kita persiapkan orang-orang untuk menangani organisasi itu setelah kia meninggalkannya.
The law of Legency (hukum warisan) adalah hukum kepemimpinan terakhir yang diajukan oleh John Maxwell dalam bukunya The 21 Irrefutable Laws of Leadership. Nilai yang ditinggalkan oleh seorang pemimpin diukur berdasarkn seberapa siap generasi berikutnya meneruskan tongkat kepemimpinan. Seorang pemimpin yang tidak mampu  mempersiapkan suksesi kepemimpinan itulah yang menyebabkan timbulnya pameo, "generasi pertama mendirikan, generasi kedua membesarkan, generasi ketiga meruntuhkan"
Untuk menghidupkan The Laws Legancy, ada empat hal yang dapat kita lakukan:
  1. Pahamilah warisan apa yang akan kita tinggalkan. Banyak orang sekadar menjalani hidup, tanpa arah yang ingin mereka tuju. Untuk menjadi seorang pemimpin yang meninggalkan warisan yang hidup, kita perlu memahami dari sekarang apa yang kita inginkan untuk dikatakan oleh orang-orang lain setelah kita meninggalkan mereka.
  2. Hiduplah sesuai dengan warisan yang ingin kita tinggalkan. Jika ingin meninggalkan suatu warisan, kita perlu menghidupkannya terlebih dahulu. Tindakan dan perkataan kita setiap harinya sebagai seorang pemimpin, itulah tinta yang akan menuliskan kenangan tentang hidup kita didalam hati orang-orang disekitar. Kenangan apa yang ingin kita ciptakan, semua terserah kita. Hiduplah sesuai dengan kenangan yang ingin anda ciptakan setiap hari
  3. Pilihlah orang-orang yang akan meneruskan tongkat kepemimpinan . Warisan yang anda tinggalkan bukan hanya harta benda, melainkan yang lebih berarti adalah generasi penerus yang siap untuk menggantikan kita dan membawa generasi menghadapi tantangan baru. 
  4. Pastikan kita menyerahkan tongkat kepemimpinan kepada mereka. Seberapa baiknya pemimpin, jika tidak menyerahkan tongkat kepemimpinan, kita tidak akan dapat meninggalkan warisan yang diharapkan.
 Unsur utama dari empat tindakan untuk mewariskan kepemimpinan diatas adalah menjadi seorang mentor yang membimbing orang-orang sekitar kita untuk membawa organisasi kemasa depan yang lebih baik.
Seperti apa yang disampaikan oleh Watten Buffet dengan pernyataan bahwa "kita dapat berteduh hari ini karena ada orang lain yang menanam pohon itu sebelumya." 

So, apakah sudah kepikiran yang ingin di wariskan???
Harta??? ,,,,ga punya,,,,,(makan ja susah),,,,
perusahaan,,,,pa lagi,,,,,
Rumah???,,,, (tinggal ja masih numpang) 
Semangat berubah,,,,,,yah,,,,,semangat,,,,karena itu akan merubah semua,,,,,,

 
Seorang pemimpin memerlukan sikap yang menunjukkan kematangan emosi dan kebijakan penalaran moral agar ia mampu menghadapi situasi sulit dalam mengambil keputusan tetap berintegrasi.
Kematangan dan sikap bijaksana kita sadari sanggat krusial ditengah semakin banyaknya persoalan yang silih berganti dan tuntutan peran yang semakin kompleks. Pertanyaannya, bagaimana kita mengevaluasi kematangan atau bijaksana-tidaknya seseorang?? apa yang mebedakan orang yang mampu bersikap tenang dalam mengambil keputusan berat serta bisa membahas masalah kehidupan dengan lancar dan mendlam, sementara yang lain bisa segera terpuruk saat menghadapi ujian?? kadang kita bertanya mengapa usia yang sama tetapi kematangan diri yang berbeda. dari sini kita dapat melihat bahwa kematangan diri dilihat dari respons individu dalam menghadapi kesulitan. Orang yang sering menyebutnya street smartness, suatu aspek kecerdasan yang didapat sebagai hasil pemikiran mengenai kehidupan praktis yang dialami individu sendiri. 

So, apakah kita sudah merasa memiliki kematangan diri?? 
apakah kita masih suka menggerutu???...........
ngomel???......
mengeluh???,,,,,,,,,,,, dll yang terlalu banyak untuk disebutkan..........



Referensi :
Daniel Wirajaya, Vive President Development of Lutan Edukasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar